PENGALAMAN DAN KESAKSIAN
A. Sinopsis
KESAKSIAN adalah ketika mata, hati dan perasaan bersama merasakan setiap pertautan di antaranya. Waktu yang bergerak, dari masa lalu hingga saat ini tidak menegasikan relasi batin semua manusia terhadap kejadian dan peristiwa yang dialaminya. Kesaksian terhadap sebuah momen penting dalam hidup dan waktu manusia, akan menjadi catatan yang tersimpan di palung terdalam hatinya. Mendengarkan sebuah kesaksian meski pahit ataupun manis, seperti oase yang menyejukan di sahara.Menjadi alumni PGA Luragung, terlebih menjadi murid generasi awal, menyisakan keprihatinan karena harus berjuang menegakkan pilar-pilar sekolah tercintanya. Bagi alumni, menjadi murid PGA tak ubahnya menjadi laskar-laskar muda yang menantang langit dengan mata terbuka, dan menghadang gelombang dengan tangan membentang. Inilah mukjizatnya, mereka tetap melaju menembus arus ombak ketengah samudra dan tidak pecah di karang pantai. Mereka ada sekarang, ingin mendengarkan kesaksian itu.
B. Pengalaman dan Kesaksian
1. Membangun Gedung Sekolah
Bagi murid generasi pertama, mereka sangat merasakan suasana kebatinan menjadi murid PGA Luragung saat itu. Atmosfir perjuangan merintis sekolah baru menjadi energi tersendiri. Nilai-nilai kebersamaan harus menjadi pijakan bersama, karena tantangan yang dihadapinya sangat berat, semuanya harus menjadi perekat satu sama lain, dan itu merupakan keniscayaan untuk menjaga almamaternya tetap eksis di ladang aral yang saat itu bisa menyurutkan energi "jihad" mereka.
Ada ungkapan satir dari salah seorang mantan murid angkatan kedua, "menjadi murid PGA Luragung adalah Perjuangan", ujarnya datar. Ya, perjuangan yang mensyaratkan energi dan spirit besar untuk bisa bertahan dari lingkaran sempit lingkungan yang ada, dan bisa survive dari mata rantai sosial terutama teman-temannya yang menafikan statusnya sebagai murid sekolah berlabel agama. Bagi sebagian orang yang seusia dengannya, pilihan menjadi murid PGA seperti musibah yang bisa menghantuinya di kemudian waktu. Sekolah dengan citra agama, tidak menjanjikan masa depan yang terang cemerlang. Citra sebagai komunitas kelas dua itu, justru menjadi energi batin yang kuat dan bisa membuktikan dirinya mampu melampaui kondisinya saat itu.
Sebuah anugrah, sekolah yang baru dirintis dengan segala kekurangannya ini memiliki guru dan kepala sekolah yang berdedikasi dan semangat juang tinggi. Kemandirian menjadi nilai tersendiri, dan cita-cita kemandirian untuk memiliki gedung sekolah yang layak mendorong semua civitas sekolah untuk bahu membahu membangun gedung sekolah yang pantas dan layak. Tahun awal berdirinya PGA seakan telah digariskan sebagai tahun perjuangan.
Dalam kesaksiannya, seluruh murid diperintahkan untuk mencari material bangunan seperti batu, pasir, bambu, kayu, dan material lainnya. Batu diperoleh dari sungai Cisadane yang cukup jauh dari sekolah, bambu dari desa sekitarnya, juga kayu yang diperoleh dari hutan yang saat itu masih banyak. Salah satu strategi penggalangan dana (fund rissing) yang dilakukan, di antaranya karena sebagai murid sekolah pertanian, mereka melakukan eksperimen terhadap pola tanam padi dan varietas tanaman lainnya agar memperoleh hasil yang baik, sehingga bisa menghasilkan beras yang berkualitas dan bisa dijual untuk mendanai pembangunan gedung. Selain itu, mereka juga mencanangkan program Beras Perelek, yakni menggalang sumbangan masyarakat dalam bentuk beras melalui kegiatan sosial dan event-event lain yang bisa mengajak masyarakat untuk berderma membantu pembangunan sekolah. Karena ini adalah fase atau periode perjuangan, maka kesan belajarnya tidak "serius", karena semua civitas akademik sekolah berjuang untuk bisa mewujudkan idealisme tersebut. Setiap hari Sabtu mereka tidak melakukan aktivitas belajar, seluruh siswa bekerja bakti membantu bersama membangun gedung sekolah impiannya. Dari cerita yang terungkap, ketika seluruh siswa bekerja mengambil batu dari sungai Cisadane, salah seorang muridbernama Suherman dikenal sangat bersemangat, karena selalu mrmbawa batu yang paling besar diantara teman-temannya yang lain. Juga peran kharismatis Ketua Siswa saat itu sdr. Wali (H. Suwali-red) yang mengkoordinir teman-temanya untuk selalu bersemangat bekerja. Kemudian, bangunan sekolah sederhana hasil jerih payah murid, guru, dan semua pihak berdiri tegak. Bangunan tersebut mungkin saat ini sudah bersalin rupa. Namun pondasi pertama yang tertanam kuat di bumi itu, adalah hasil ijtihad bersama para pendiri, guru dan murid yang akan menjadi serat kuat bangunan-bangunan selanjutnya.
2. Menjadi PR "Public Relation" atau Humas Sekolah
Fase perjuangan, periode yang bisa menghilangkan segalanya. Mereka mungkin telah kehilangan kesempatan belajar dengan baik dan serius, mereka mengesampingkan kemeriahan suasana sekolah dengan cerita-cerita yang manis. Interaksi sesama mereka adalah interaksi yang sangat personal dan saling mendekatkan. Masa-masa indah sebagai murid maupun anak-anak yang beranjak dewasa, harus dilalui dengan petuh dan penat yang sangat.
Sebagai sekolah yang baru berdiri, tentunya belum dikenal oleh masyarakat luas. Untuk menjaga kesinambungan sekolah, maka setiap murid mendapat peran ganda yakni menjadi seorang Public Relation atau semisal humas, dengan tugas mempromosikan sekolah ke masyarakat. Tugas ini tentunya menuntut kreativitas tinggi dari setiap siswa maupun guru dan Kepala Sekolah, dibutuhkan strategi dan kemampuan melakukan promosi yang efektif tapi dengan jangkauan dan spektrum sasaran atau objek yang luas.
Dari cerita yang dihimpun, murid-murid pada saat diluar jam belajar maupun momen tertentu, mereka mengadakan tur pemutaran film dengan berkeliling ke kantong-kantong masyarakat. Antusiasme masyarakat untuk hiburan tontonan ini, menjadi kesempatan untuk melakukan promosi atau "beriklan" tentang, PGA Luragung, diselingi dengan pesa-pesan dan syiar dakwah agama kepada masyarakat. Selain itu, mereka juga melakukan pertandingan-pertandingan eksibisi seperti bola voli atau sepak bola dengan masyarakat. Serta promosi dengan kreativitas lainnya yang menarik, seperti mengadakan perkemahan atau "kemping" di desa-desa dan mengadakan event hiburan pementasan drama dan kreativitas seni lainnya. Cerita-cerita yang disuguhkan pada pementasan drama, mendasarkan pada cerita-cerita tauladan nabi dan sahabat yang dikemas dengan ringan dan jenaka agar mudah dicerna penonton. Dalam melakukan sosialisasi,yang dikemas dalam bentuk pementasan drama dan kreativitas seni lainnya, mereka berkeliling desa sampai ke Panyosogan, Wilanagara, Cileuya, Luragung Tonggoh, Kalimanggis, Ciporang, dan sejumlah daerah lain yang kondisinya saat itu rawan dan beresiko bagi murid-murid PGA Alma'arif Luragung.
Dari pengalaman yang diceritakan, masyarakat sangat terkesan dengan pementasan tari "Ani-Ani Potong Padi" yang dipentaskan pada saat peringatan 17 Agustus di desa Cirahayu, saat itu yang membawakan tarian tersebut adalah siswi-siswi PGA dari Wilatiagara. Sebuah tarian rakyat dengan gerakan indah yang mempesona penonton. Kegiatan-kegiatan siswa saat itu, sebagai bentuk lain adanya integrasi serta sinergi sekolah dengan masyarakat yang kita kenal saat ini dengan istilah Sekolah Berbasis Masyarakat.
C. Kesan dan Cerita
Setiap siswa dan murid PGA Alma'arif Luragung tentunya memiliki cerita dan kesan mendalam tentang masa-masa belajar di almamaternya. Ada sejuta cerita yang tidak mungkin dituliskan di buku kecil ini, semuanya memiliki cerita itu. Biarkanlah semuanya tertulis dan diceritakan di masa-nya masing-masing, kepada teman , sahabat, dan orang-orang tercintanya.Sebagian murid-murid PGA Luragung rata-rata berasal dari keluarga dengan srata ekonomi biasa, sehingga sekolah sepenuhnya didasari oleh motivasi meraih cita-cita dengan ilmu pengetahuan, bukan karena kemampuan secara ekonomi. Sehingga muncul kelakar, siswa terutama generasi pertama tidak ingat apakah mereka pernah membayar iuran sekolah atau tidak. Prinsip seluruh civitas sekolah terutama guru-guru, yang penting murid-murid sekolah dan mau belajar, kewajiban administrasi keuangan menjadi pertimbangan kesekian. Jadi, slogan pariwara pemerintah tentang'Sekolah Harus Bisa", sesungguhnya sudah di lakukan, juga program sekolah gratis jauh sebelumnya sudah dilaksanakan oleh para. pendiri PGA Luragung.
Untuk bisa bertahan, rata-rata murid ketika itu harus bekerja mandiri dengan mencari kayu bakar dan upaya-upaya halal lainnya untuk memenuhi keperluan sekolah. Dari cerita yang ada, salah seorang siswa pernah menjual kayu bakarnya kepada seorang pembeli yang ternyata salah seorang guru PGA Luragung, yang konon ceritanya saat itu ditemui putri guru tersebut. Pada saat upacara bendera hari Senin, Bapak Mugni yang saat itu menjadi inspektur upacara, pada pengarahannya menyampaikan kebanggaan bahwa ada muridnya yang menjual kayu bakar kepadanya untuk keperluan sekolahnya. Bisa dibayangkan alangkah terkesannya murid tersebut ketika tahu kalau pembelinya adalah Pak Mugni. Beliau adalah figur seorang guru bersahaja yang bangga akan kerja keras murid-muridnya yang berusaha tidak membebani orang tua.
Sisi lain dari kebanggaan menjadi murid PGA Luragung saat itu dapat disimak dari cerita salah seorang mantan murid ketika terlibat berperan serta dalam pawai karnaval 17 Agustus 1966 di lapangan Luragung. Layaknya sebuah karnaval, setiap siswa mendapat kesempatan untuk memerankan tokoh-tokoh imajinatif figur pejuang nasional semisal menjadi Bung Karno, Panglima TNI Jenderal Sudirman dan sejumlah tokoh lainnya. Adalah siswa bernama Edi Djuhaedi yang kemudian ditunjuk untuk memerankan sosok figur proletar yang berbeda dengan penampilan tokoh-tokoh mapan saat itu. Sebagai seorang proletar, dia harus di "face off', didandani dan dirias dengan karakter seorang proletar yang kumuh, miskin dan asosial. Siswa tersebut justru sangat bangga dengan perannya tersebut, karena saat itu dia diberi kesempatan naik dan duduk di kap mobil Jeep Wilis yang bermimpi pun tidak pernah untuk bisa naik mobil. Satu hal lagi, menjadi seorang "proletar" saat itu, merupakan bentuk kritik terhadap penyimpangan kekuasaan yang menggejala saat itu. Sebuah kritik cerdas dan edukatif yang didesain sebagai protes sosial kepada pemerintah yang apatis pada persoalan ekonomi dan sekaligus mencerminkan potret rakyat miskin yang zaman itu populasinya terus naik.
Menjadi cerita dan pengalaman umum murid-murid PGA Luragung. Rata-rata mereka harus menempuh perjalanan jauh menuju sekolah dengan jalan kaki dan tidak mamakai alas kaki sepatu atau sandal. Hanya segelintir yang menggunakan sepeda, mungkin mereka berasal dari kasta ekonomi menengah. Yang lebih miris lagi, bila siswa tersebut berasal dari Galaherang yang saat itu menjadi "supplier" atau pemasok murid PGA paling banyak. Mereka berjalan kaki, tanpa alas sepatu maupun sandal dengan rentang jarak ke sekolah 6 KM, jadi dalam sehari mereka berjalan kaki dengan jarak tempuh seluruhnya 12 KM. Sepatu hanya digunakan bila mau masuk sekolah, atau dititipkan di warung terdekat bila mau pulang sekolah. Ada olok-olok, bila sepatu yang mereka pakai sampai ke lutut atas, bukan karena sepatunya yang tinggi tetapi karena lumpur yang membungkus kaki sampai lutut. Hari ini kita membayangkan, bila itu terjadi terhadap anak-anak kita, sungguh memilukan. Belum lagi cemooh yang harus mereka dengar setiap hari dari teman-teman sebayanya yang sekolah di umum, kelakar sebagai "koboi akherat" seakan menjadi menu tetap setiap pagi bila berpapasan dengan teman-temanya. Namun di balik inferioritas sosial yang dialaminya, ada sejumput kebangaan murid-murid PGA Luragung yang saat itu sudah memakai celana panjang, berbeda dengan sekolah sederajat lainnya dimana murid laki-lakinya bercelana pendek.
Hari-hari belajar di PGA Luragung dilaluinya dengan penuh suka cita, bersekolah menurut salah seorang alumni saat itu adalah hari yang ditunggu-tunggu. Kerinduan akan kehangatan sekolah sangat dinanti, mereka mampir tidak pernah absen atau bolos, bahkan sakitpun lebih baik sekolah. Hujan dan terik panas, menjadi energi tersendiri untuk lebih bersemangat belajar demi merenda masa depannya yang gemilang. Kembali sekolah merupakan momen yang menggembirakan, karena akan menikmati goreng combro di rumah ibu mantri pertanian dengan cabe rawit yang tinggal ngambil di pekarangan rumah, sangat nikmat tentunya.
D. Lebih Dekat dengan Pendiri dan Guru PGA Luragung
Menjadi pendiri dan guru PGA Alma'arif Luragung, mendapat tempat terhormat di bilik sanubari setiap murid-muridnya. Mereka begitu berwibawa dan juhud karena mendermakan fikir, waktu, dan ilmunya tanpa pamrih dan imbalan rupiah atau materi sedikit pun dan dari siapa pun. Setiap hari mereka hadir menyapa murid-muridnya dengan penuh suka cita, mengajarinya bilangal-lbilangan ilmu dan kearifan yang tak ternilai maknanya.
Dengan rasa hormat yang tinggi, kita akan menelusuri profil para pendiri sekaligus guru PGA Alma'arif Luragung.
1. K.H. Satori
Pendiri PGAAlma'arif Luragung, beliau wafat pada tahun 2009 di usia kurang lebih 100 tahun. Secara formal beliau tidak mengajar di PGA Luragung, namun beliau guru agama yang mengajar di delapan desa dengan sekolah yang berbeda. Bersama H. Dimyati, melakukan safari dakwah dan syiar agama ke wilayah maupun kelompok masyarakat yang masih awam dan dangkal secara aqidah maupun tauhidnya. Beliau partner (soulmate-istilah sekarang) H. Dimyati dalam melakukan dakwah ke masyarakat. Beliau juga seorang kiai pondok pesantren di Wilanagara, dan bersaudara dengan Bapak Mugni .
Dari cerita H. Dimyati, sebagai seorang pendakwah, Bapak H. Satori selalu bersama melakukan aktivitas dakwah meski harus dibayangi oleh adanya infiltrasi dari kelompok masyarakat yang tidak senang oleh aktivitas syiarnya. Kedekatan mereka terekam dengan baik oleh H. Dimyati hingga saat ini, hingga pada suatu waktu, H. Dimyati mengajak beliau untuk mendatangi suatu desa yang terkenal memiliki predikat daerah "rawan" karena ratarata penduduknya khususnya laki-laki selalu berpakaian hitam. Kekhawatiran itu wajar, setelah melakukan munajat perlindungan kepada Allah SWT dan keyakinan karena merupakan misi dakwah yang harus dilakukan, kedua sahabat itu tetap menemui penduduk desa tersebut. Dengan kecerdasan dan pendekatan yang baik, masyarakat di daerah tersebut menerima ajakan dakwah mereka dengan terbuka.
2. H. Mahmud
Pendiri dan seorang guru yang sangat bersahaja dan memiliki perangai lembut. Pandangannya sangat mendalam, dan memiliki tipologi seorang kyai yang cerdas dan alim. Beliau sangat dekat dengan murid-muridnya, kebiasaannya bersama bercengkrama dan ngobrol di pos jaga di depan sekolah. Konsistensinya dalam perjuangan menegakkan pilar-pilar sekolah, hampir semua putra putrinya sekolah di PGA Luragung. Beliau mewariskan kekayaan sejati ilmu pengetahuan bagi murid-muridnya. Dalam setiap penjelasan materi pelajarannya, beliau selalu menawarkan atmosfir keilmuan yang inspiratif.Dengan aura kelembutan dan kasih sayangnya, beliau selalu berusaha mendekatkan diri kepada murid-muridnya dalam spektrum keilmuan jadi bukan semata antara guru dan murid. Kesan cinta terhadap figur bapak Mahmud, begitu mendalam dalam daya nalar semua yang pernah merasakan sentuhan kelembutan dan kearifannya. Dia memberikan mahadaya ilmu yang terus diwariskan oleh murid-muridnya. Interaksi dengan murid-muridnya yang sangat intim itu, membuat waktu yang begitu panjang telah menciptakan episentrum kenangan yang mendalam dalam palung hati dan syaraf cinta murid-muridnya hingga kini.
3. H. Mugni
Pendiri dan sosok guru yang cerdas dan tegas. Sebagai seorang guru, baginya tujuan pendidikan berdasarkan kemampuan atau kompetensi, materi pelajaran harus dikuasai, jadi bukan tujuan administratif semata. Sebagai seorang guru hadist, setiap siswa dituntut untuk bisa menghafal dan menjelaskan maksud dan isi landungan hadist tersebut. Ketegasan beliau selalu meninggalkan bekas ilmu dan pengetahuan yang kini terpatri di jiwa muridmuridnya. Selain tegas, Pak Mugni selalu memberikan sentuhan personal yang hangat dan dekat sekali. Beliau adalah guru sekaligus bapak yang bisa mengisi ruang-ruang kosong murid-muridnya lalu membuat ruang kosong itu sarat dengan cakrawala pengetahuan yang kelak sangat berarti.
Bagi murid yang kurang mampu, dia tidak memberikan tugas tambahan namun membimbingnya dengan kelembutan dan kasih sayang. Namun bagi murid yang mampu, beliau memberi tugas tambahan untuk menjaga dan meningkatkan libido kemampuan anak didiknya tersebut. Yang mengesankan dari beliau, dia suka 'nundutan" bahkan tertidur di ruang kelas bila sedang mengajar, maklum beliau adalah seorang tokoh politik dan masyarakat yang setiap malam berdiskusi memberikan pencerahan kepada masyarakat.
4. H. Dimyati
Pendiri dan pencetus gagasan didirikannya PGA Luragung. Beliau satu-satunya pendiri yang masih ada saat ini. Di usianya yang ke-83 tahun, H. Dimyati masih segar dan kritis dengan perubahan-perubahan yang terus bergerak. di usia kini, beliau masih tetap sederhana dan bertani menanam tanaman dan pohon apa saja yang bermanfaat sekalipun di lahan kering dan tandus karena kemarau. Ketika ditanya mengapa terus bertanam, lirih beliau menjawab dengan mengutip sabda Nabi Muhamad SAW yang mewasiatkan kepada umatnya untuk terus menanam pohon meski esok akan kiamat. Hari ini beliau hadir, menemui dan menyaksikan kader-kader mudanya berkumpul menemuinya di tempat di mana ide dan gagasannya diterjemahkan secara nyata. Beliau adalah sosok pejuang pendidikan khususnya pendidikan agama, dan pejuang pengkaderan, khususnya generasi muda Islam
Sebagai tokoh pergerakan, beliau pernah merasakan dinginnya sel penjara karena memperjuangkan keyakinan dan prinsip perjuangannya yang bersebrangan dengan penguasa melalui aparatnya saat itu. H. Dimyati selalu bergerak, menggagas, dan membentuk institusi-institusi pendidkan untuk mempersiapkan kader-kader muda penerus visi dan misi keislamannya. Fakta statistik, beliau mendirikan dan menggagas lembaga pendidikan PGA Luragung, MTs Galaherang, MI Galaherang , MI Sukasari, MI Ciledug di desa Mekarsari, dan membangun MI di Bunikerta desa Galaherang. Sebagai informasi, secara topografi, kampung Bunikerta berada jauh dari "puseur" desa Galaherang, karena berada di tengah hutan yang sukar di jangkau dengan kendaraan roda empat.Secara idiologis, beliau merupakan produk asimilasi dari terintegrasinya paham tradisional NU, Islam moderatnya Masyumi, dan sisi positifiiya sosialisme. Aliran-aliran pemikiran di atas, membentuk cara pandang keislamannya lebih ber-nash dan berkarakter progresif. Beliau bisa berkompromi dengan sosialisme untuk bisa mewarnai penganut sosialisme dengan wawasan keislaman yang humanis, kental dengan tradisionalisme NU karena ajaran Ahlusunnah wal Jamaah yang mengedepankan Islam yang lebih terbuka sekaligus menjadi ciri tata ibadah amaliah dan ubudiahnya sehari-hari, lalu dekat lekat dengan pemikiran progresif Masyumi yang menawarkan keislaman yang moderat dan modern.
Prinsip beliau selalu didasari oleh adagium "Islam selalu membutuhkan penggerak, dan penggerak membutuhkan pelita", pelita di sini adalah ilmu pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap penggerak (kader) Islam. Selain itu, beliau selalu menyampaikan pesan sufistik kepada anak-anak muda dalam berbagai kesempatan, "kun kal kawung walatakun kal maung", pesan ini terkesan satir dan jenaka karena berbaur antara bahasa arab dan sunda. Pesan yang ingin disampaikannya, bahwa hidup manusia harus bermanfaat bagi sesama dan jangan jadi mudharat bagi orang lain. Filosofi kawung —pohon aren-, semua yang dimiliki pohon ini berguna dan bermanfaat. Maung -harimau-, artinya manusia harus menjauhkan dan membebaskan dirinya dari sifat bahimiah harimau atau hewaniah harimau yang bisa merugikan sesama.
5. 0. Sodikin
Pendiri, guru, dan kepala sekolah pertama PGA Luragung. Pribadinya yang kharismatik, meninggalkan kesan mendalam di benak murid-muridnya. Sebagai seorang kepala sekolah, beliau dikenal memiliki karakter nasionalis religius. Dedikasinya untuk kepentingan sekolah ini sangatlah besar, sebelum menjadi kepala sekolah beliau adalah kepala sekolah SD Cangkurileung dicirahayu. Status kepala sekolah di SD tersebut beliau tinggalkan dan sepenuhnya mengabdi di PGA Luragung. Beliau adalah tokoh penggerak dan seorang idealis, beliau salah satu ruh utama PGA Luragung.
Karakter kepemimpinannya yang meledak-ledak namun kharismatis, mampu mengawal perjalanan PGA Luragung pada pencapaian-pencapaian yang menakjubkan di kemudian hari. Komitmen perjuangan beliau terhadap eksistensi sekolah ini, adalah komitmen dan keyakinan hati yang terus dijaga oleh Putra-putrinya yang juga merupakan alumni sekolah yang dirintis ayahandanya. Selanjutnya, setelah pensiun beliau menjadi kepala desa Walahar seperti halnya Pak Mugni yang menjadi kepala desa Wilanagara..
Kesan diatas hanyalah cuplikan dari narasi panjang kesan-kesan yang dimiliki setiap murid PGA Luragung terhadap guru-guru tercintanya. Tidak Seluruhnya bisa tertuliskan di buku ini, karena berbagai kerterbatasan sumber dan data yang ada.Hari ini, kita hanya bisa merasakan kehadiran guru-guru teladan tersebut dalam memori terdalam hati masing-masing. Sebagian sudah kembali menjumpai sang Pemilik Maha Kuasa, meninggalkan prasasti cinta yang akan dikenang sepanjang hayat. Semua yang ada disini, ruang kelas dan semua yang pernah bersamanya menjadi altar luas bagi persembahan cinta murid-muridnya yang bersama kembali menemui jejak-jejak manis yang ditinggalkan guru tercintanya. Kami memujamu, karena ilmu yang pernah engkau berikan Amin
sumber buku : Sejarah Singkat Berdirinya PGA Luragung oleh Dodo Murtadlo
A. Sinopsis
KESAKSIAN adalah ketika mata, hati dan perasaan bersama merasakan setiap pertautan di antaranya. Waktu yang bergerak, dari masa lalu hingga saat ini tidak menegasikan relasi batin semua manusia terhadap kejadian dan peristiwa yang dialaminya. Kesaksian terhadap sebuah momen penting dalam hidup dan waktu manusia, akan menjadi catatan yang tersimpan di palung terdalam hatinya. Mendengarkan sebuah kesaksian meski pahit ataupun manis, seperti oase yang menyejukan di sahara.Menjadi alumni PGA Luragung, terlebih menjadi murid generasi awal, menyisakan keprihatinan karena harus berjuang menegakkan pilar-pilar sekolah tercintanya. Bagi alumni, menjadi murid PGA tak ubahnya menjadi laskar-laskar muda yang menantang langit dengan mata terbuka, dan menghadang gelombang dengan tangan membentang. Inilah mukjizatnya, mereka tetap melaju menembus arus ombak ketengah samudra dan tidak pecah di karang pantai. Mereka ada sekarang, ingin mendengarkan kesaksian itu.
B. Pengalaman dan Kesaksian
1. Membangun Gedung Sekolah
Bagi murid generasi pertama, mereka sangat merasakan suasana kebatinan menjadi murid PGA Luragung saat itu. Atmosfir perjuangan merintis sekolah baru menjadi energi tersendiri. Nilai-nilai kebersamaan harus menjadi pijakan bersama, karena tantangan yang dihadapinya sangat berat, semuanya harus menjadi perekat satu sama lain, dan itu merupakan keniscayaan untuk menjaga almamaternya tetap eksis di ladang aral yang saat itu bisa menyurutkan energi "jihad" mereka.
Ada ungkapan satir dari salah seorang mantan murid angkatan kedua, "menjadi murid PGA Luragung adalah Perjuangan", ujarnya datar. Ya, perjuangan yang mensyaratkan energi dan spirit besar untuk bisa bertahan dari lingkaran sempit lingkungan yang ada, dan bisa survive dari mata rantai sosial terutama teman-temannya yang menafikan statusnya sebagai murid sekolah berlabel agama. Bagi sebagian orang yang seusia dengannya, pilihan menjadi murid PGA seperti musibah yang bisa menghantuinya di kemudian waktu. Sekolah dengan citra agama, tidak menjanjikan masa depan yang terang cemerlang. Citra sebagai komunitas kelas dua itu, justru menjadi energi batin yang kuat dan bisa membuktikan dirinya mampu melampaui kondisinya saat itu.
Sebuah anugrah, sekolah yang baru dirintis dengan segala kekurangannya ini memiliki guru dan kepala sekolah yang berdedikasi dan semangat juang tinggi. Kemandirian menjadi nilai tersendiri, dan cita-cita kemandirian untuk memiliki gedung sekolah yang layak mendorong semua civitas sekolah untuk bahu membahu membangun gedung sekolah yang pantas dan layak. Tahun awal berdirinya PGA seakan telah digariskan sebagai tahun perjuangan.
Dalam kesaksiannya, seluruh murid diperintahkan untuk mencari material bangunan seperti batu, pasir, bambu, kayu, dan material lainnya. Batu diperoleh dari sungai Cisadane yang cukup jauh dari sekolah, bambu dari desa sekitarnya, juga kayu yang diperoleh dari hutan yang saat itu masih banyak. Salah satu strategi penggalangan dana (fund rissing) yang dilakukan, di antaranya karena sebagai murid sekolah pertanian, mereka melakukan eksperimen terhadap pola tanam padi dan varietas tanaman lainnya agar memperoleh hasil yang baik, sehingga bisa menghasilkan beras yang berkualitas dan bisa dijual untuk mendanai pembangunan gedung. Selain itu, mereka juga mencanangkan program Beras Perelek, yakni menggalang sumbangan masyarakat dalam bentuk beras melalui kegiatan sosial dan event-event lain yang bisa mengajak masyarakat untuk berderma membantu pembangunan sekolah. Karena ini adalah fase atau periode perjuangan, maka kesan belajarnya tidak "serius", karena semua civitas akademik sekolah berjuang untuk bisa mewujudkan idealisme tersebut. Setiap hari Sabtu mereka tidak melakukan aktivitas belajar, seluruh siswa bekerja bakti membantu bersama membangun gedung sekolah impiannya. Dari cerita yang terungkap, ketika seluruh siswa bekerja mengambil batu dari sungai Cisadane, salah seorang muridbernama Suherman dikenal sangat bersemangat, karena selalu mrmbawa batu yang paling besar diantara teman-temannya yang lain. Juga peran kharismatis Ketua Siswa saat itu sdr. Wali (H. Suwali-red) yang mengkoordinir teman-temanya untuk selalu bersemangat bekerja. Kemudian, bangunan sekolah sederhana hasil jerih payah murid, guru, dan semua pihak berdiri tegak. Bangunan tersebut mungkin saat ini sudah bersalin rupa. Namun pondasi pertama yang tertanam kuat di bumi itu, adalah hasil ijtihad bersama para pendiri, guru dan murid yang akan menjadi serat kuat bangunan-bangunan selanjutnya.
2. Menjadi PR "Public Relation" atau Humas Sekolah
Fase perjuangan, periode yang bisa menghilangkan segalanya. Mereka mungkin telah kehilangan kesempatan belajar dengan baik dan serius, mereka mengesampingkan kemeriahan suasana sekolah dengan cerita-cerita yang manis. Interaksi sesama mereka adalah interaksi yang sangat personal dan saling mendekatkan. Masa-masa indah sebagai murid maupun anak-anak yang beranjak dewasa, harus dilalui dengan petuh dan penat yang sangat.
Sebagai sekolah yang baru berdiri, tentunya belum dikenal oleh masyarakat luas. Untuk menjaga kesinambungan sekolah, maka setiap murid mendapat peran ganda yakni menjadi seorang Public Relation atau semisal humas, dengan tugas mempromosikan sekolah ke masyarakat. Tugas ini tentunya menuntut kreativitas tinggi dari setiap siswa maupun guru dan Kepala Sekolah, dibutuhkan strategi dan kemampuan melakukan promosi yang efektif tapi dengan jangkauan dan spektrum sasaran atau objek yang luas.
Dari cerita yang dihimpun, murid-murid pada saat diluar jam belajar maupun momen tertentu, mereka mengadakan tur pemutaran film dengan berkeliling ke kantong-kantong masyarakat. Antusiasme masyarakat untuk hiburan tontonan ini, menjadi kesempatan untuk melakukan promosi atau "beriklan" tentang, PGA Luragung, diselingi dengan pesa-pesan dan syiar dakwah agama kepada masyarakat. Selain itu, mereka juga melakukan pertandingan-pertandingan eksibisi seperti bola voli atau sepak bola dengan masyarakat. Serta promosi dengan kreativitas lainnya yang menarik, seperti mengadakan perkemahan atau "kemping" di desa-desa dan mengadakan event hiburan pementasan drama dan kreativitas seni lainnya. Cerita-cerita yang disuguhkan pada pementasan drama, mendasarkan pada cerita-cerita tauladan nabi dan sahabat yang dikemas dengan ringan dan jenaka agar mudah dicerna penonton. Dalam melakukan sosialisasi,yang dikemas dalam bentuk pementasan drama dan kreativitas seni lainnya, mereka berkeliling desa sampai ke Panyosogan, Wilanagara, Cileuya, Luragung Tonggoh, Kalimanggis, Ciporang, dan sejumlah daerah lain yang kondisinya saat itu rawan dan beresiko bagi murid-murid PGA Alma'arif Luragung.
Dari pengalaman yang diceritakan, masyarakat sangat terkesan dengan pementasan tari "Ani-Ani Potong Padi" yang dipentaskan pada saat peringatan 17 Agustus di desa Cirahayu, saat itu yang membawakan tarian tersebut adalah siswi-siswi PGA dari Wilatiagara. Sebuah tarian rakyat dengan gerakan indah yang mempesona penonton. Kegiatan-kegiatan siswa saat itu, sebagai bentuk lain adanya integrasi serta sinergi sekolah dengan masyarakat yang kita kenal saat ini dengan istilah Sekolah Berbasis Masyarakat.
C. Kesan dan Cerita
Setiap siswa dan murid PGA Alma'arif Luragung tentunya memiliki cerita dan kesan mendalam tentang masa-masa belajar di almamaternya. Ada sejuta cerita yang tidak mungkin dituliskan di buku kecil ini, semuanya memiliki cerita itu. Biarkanlah semuanya tertulis dan diceritakan di masa-nya masing-masing, kepada teman , sahabat, dan orang-orang tercintanya.Sebagian murid-murid PGA Luragung rata-rata berasal dari keluarga dengan srata ekonomi biasa, sehingga sekolah sepenuhnya didasari oleh motivasi meraih cita-cita dengan ilmu pengetahuan, bukan karena kemampuan secara ekonomi. Sehingga muncul kelakar, siswa terutama generasi pertama tidak ingat apakah mereka pernah membayar iuran sekolah atau tidak. Prinsip seluruh civitas sekolah terutama guru-guru, yang penting murid-murid sekolah dan mau belajar, kewajiban administrasi keuangan menjadi pertimbangan kesekian. Jadi, slogan pariwara pemerintah tentang'Sekolah Harus Bisa", sesungguhnya sudah di lakukan, juga program sekolah gratis jauh sebelumnya sudah dilaksanakan oleh para. pendiri PGA Luragung.
Untuk bisa bertahan, rata-rata murid ketika itu harus bekerja mandiri dengan mencari kayu bakar dan upaya-upaya halal lainnya untuk memenuhi keperluan sekolah. Dari cerita yang ada, salah seorang siswa pernah menjual kayu bakarnya kepada seorang pembeli yang ternyata salah seorang guru PGA Luragung, yang konon ceritanya saat itu ditemui putri guru tersebut. Pada saat upacara bendera hari Senin, Bapak Mugni yang saat itu menjadi inspektur upacara, pada pengarahannya menyampaikan kebanggaan bahwa ada muridnya yang menjual kayu bakar kepadanya untuk keperluan sekolahnya. Bisa dibayangkan alangkah terkesannya murid tersebut ketika tahu kalau pembelinya adalah Pak Mugni. Beliau adalah figur seorang guru bersahaja yang bangga akan kerja keras murid-muridnya yang berusaha tidak membebani orang tua.
Sisi lain dari kebanggaan menjadi murid PGA Luragung saat itu dapat disimak dari cerita salah seorang mantan murid ketika terlibat berperan serta dalam pawai karnaval 17 Agustus 1966 di lapangan Luragung. Layaknya sebuah karnaval, setiap siswa mendapat kesempatan untuk memerankan tokoh-tokoh imajinatif figur pejuang nasional semisal menjadi Bung Karno, Panglima TNI Jenderal Sudirman dan sejumlah tokoh lainnya. Adalah siswa bernama Edi Djuhaedi yang kemudian ditunjuk untuk memerankan sosok figur proletar yang berbeda dengan penampilan tokoh-tokoh mapan saat itu. Sebagai seorang proletar, dia harus di "face off', didandani dan dirias dengan karakter seorang proletar yang kumuh, miskin dan asosial. Siswa tersebut justru sangat bangga dengan perannya tersebut, karena saat itu dia diberi kesempatan naik dan duduk di kap mobil Jeep Wilis yang bermimpi pun tidak pernah untuk bisa naik mobil. Satu hal lagi, menjadi seorang "proletar" saat itu, merupakan bentuk kritik terhadap penyimpangan kekuasaan yang menggejala saat itu. Sebuah kritik cerdas dan edukatif yang didesain sebagai protes sosial kepada pemerintah yang apatis pada persoalan ekonomi dan sekaligus mencerminkan potret rakyat miskin yang zaman itu populasinya terus naik.
Menjadi cerita dan pengalaman umum murid-murid PGA Luragung. Rata-rata mereka harus menempuh perjalanan jauh menuju sekolah dengan jalan kaki dan tidak mamakai alas kaki sepatu atau sandal. Hanya segelintir yang menggunakan sepeda, mungkin mereka berasal dari kasta ekonomi menengah. Yang lebih miris lagi, bila siswa tersebut berasal dari Galaherang yang saat itu menjadi "supplier" atau pemasok murid PGA paling banyak. Mereka berjalan kaki, tanpa alas sepatu maupun sandal dengan rentang jarak ke sekolah 6 KM, jadi dalam sehari mereka berjalan kaki dengan jarak tempuh seluruhnya 12 KM. Sepatu hanya digunakan bila mau masuk sekolah, atau dititipkan di warung terdekat bila mau pulang sekolah. Ada olok-olok, bila sepatu yang mereka pakai sampai ke lutut atas, bukan karena sepatunya yang tinggi tetapi karena lumpur yang membungkus kaki sampai lutut. Hari ini kita membayangkan, bila itu terjadi terhadap anak-anak kita, sungguh memilukan. Belum lagi cemooh yang harus mereka dengar setiap hari dari teman-teman sebayanya yang sekolah di umum, kelakar sebagai "koboi akherat" seakan menjadi menu tetap setiap pagi bila berpapasan dengan teman-temanya. Namun di balik inferioritas sosial yang dialaminya, ada sejumput kebangaan murid-murid PGA Luragung yang saat itu sudah memakai celana panjang, berbeda dengan sekolah sederajat lainnya dimana murid laki-lakinya bercelana pendek.
Hari-hari belajar di PGA Luragung dilaluinya dengan penuh suka cita, bersekolah menurut salah seorang alumni saat itu adalah hari yang ditunggu-tunggu. Kerinduan akan kehangatan sekolah sangat dinanti, mereka mampir tidak pernah absen atau bolos, bahkan sakitpun lebih baik sekolah. Hujan dan terik panas, menjadi energi tersendiri untuk lebih bersemangat belajar demi merenda masa depannya yang gemilang. Kembali sekolah merupakan momen yang menggembirakan, karena akan menikmati goreng combro di rumah ibu mantri pertanian dengan cabe rawit yang tinggal ngambil di pekarangan rumah, sangat nikmat tentunya.
D. Lebih Dekat dengan Pendiri dan Guru PGA Luragung
Menjadi pendiri dan guru PGA Alma'arif Luragung, mendapat tempat terhormat di bilik sanubari setiap murid-muridnya. Mereka begitu berwibawa dan juhud karena mendermakan fikir, waktu, dan ilmunya tanpa pamrih dan imbalan rupiah atau materi sedikit pun dan dari siapa pun. Setiap hari mereka hadir menyapa murid-muridnya dengan penuh suka cita, mengajarinya bilangal-lbilangan ilmu dan kearifan yang tak ternilai maknanya.
Dengan rasa hormat yang tinggi, kita akan menelusuri profil para pendiri sekaligus guru PGA Alma'arif Luragung.
1. K.H. Satori
Pendiri PGAAlma'arif Luragung, beliau wafat pada tahun 2009 di usia kurang lebih 100 tahun. Secara formal beliau tidak mengajar di PGA Luragung, namun beliau guru agama yang mengajar di delapan desa dengan sekolah yang berbeda. Bersama H. Dimyati, melakukan safari dakwah dan syiar agama ke wilayah maupun kelompok masyarakat yang masih awam dan dangkal secara aqidah maupun tauhidnya. Beliau partner (soulmate-istilah sekarang) H. Dimyati dalam melakukan dakwah ke masyarakat. Beliau juga seorang kiai pondok pesantren di Wilanagara, dan bersaudara dengan Bapak Mugni .
Dari cerita H. Dimyati, sebagai seorang pendakwah, Bapak H. Satori selalu bersama melakukan aktivitas dakwah meski harus dibayangi oleh adanya infiltrasi dari kelompok masyarakat yang tidak senang oleh aktivitas syiarnya. Kedekatan mereka terekam dengan baik oleh H. Dimyati hingga saat ini, hingga pada suatu waktu, H. Dimyati mengajak beliau untuk mendatangi suatu desa yang terkenal memiliki predikat daerah "rawan" karena ratarata penduduknya khususnya laki-laki selalu berpakaian hitam. Kekhawatiran itu wajar, setelah melakukan munajat perlindungan kepada Allah SWT dan keyakinan karena merupakan misi dakwah yang harus dilakukan, kedua sahabat itu tetap menemui penduduk desa tersebut. Dengan kecerdasan dan pendekatan yang baik, masyarakat di daerah tersebut menerima ajakan dakwah mereka dengan terbuka.
2. H. Mahmud
Pendiri dan seorang guru yang sangat bersahaja dan memiliki perangai lembut. Pandangannya sangat mendalam, dan memiliki tipologi seorang kyai yang cerdas dan alim. Beliau sangat dekat dengan murid-muridnya, kebiasaannya bersama bercengkrama dan ngobrol di pos jaga di depan sekolah. Konsistensinya dalam perjuangan menegakkan pilar-pilar sekolah, hampir semua putra putrinya sekolah di PGA Luragung. Beliau mewariskan kekayaan sejati ilmu pengetahuan bagi murid-muridnya. Dalam setiap penjelasan materi pelajarannya, beliau selalu menawarkan atmosfir keilmuan yang inspiratif.Dengan aura kelembutan dan kasih sayangnya, beliau selalu berusaha mendekatkan diri kepada murid-muridnya dalam spektrum keilmuan jadi bukan semata antara guru dan murid. Kesan cinta terhadap figur bapak Mahmud, begitu mendalam dalam daya nalar semua yang pernah merasakan sentuhan kelembutan dan kearifannya. Dia memberikan mahadaya ilmu yang terus diwariskan oleh murid-muridnya. Interaksi dengan murid-muridnya yang sangat intim itu, membuat waktu yang begitu panjang telah menciptakan episentrum kenangan yang mendalam dalam palung hati dan syaraf cinta murid-muridnya hingga kini.
3. H. Mugni
Pendiri dan sosok guru yang cerdas dan tegas. Sebagai seorang guru, baginya tujuan pendidikan berdasarkan kemampuan atau kompetensi, materi pelajaran harus dikuasai, jadi bukan tujuan administratif semata. Sebagai seorang guru hadist, setiap siswa dituntut untuk bisa menghafal dan menjelaskan maksud dan isi landungan hadist tersebut. Ketegasan beliau selalu meninggalkan bekas ilmu dan pengetahuan yang kini terpatri di jiwa muridmuridnya. Selain tegas, Pak Mugni selalu memberikan sentuhan personal yang hangat dan dekat sekali. Beliau adalah guru sekaligus bapak yang bisa mengisi ruang-ruang kosong murid-muridnya lalu membuat ruang kosong itu sarat dengan cakrawala pengetahuan yang kelak sangat berarti.
Bagi murid yang kurang mampu, dia tidak memberikan tugas tambahan namun membimbingnya dengan kelembutan dan kasih sayang. Namun bagi murid yang mampu, beliau memberi tugas tambahan untuk menjaga dan meningkatkan libido kemampuan anak didiknya tersebut. Yang mengesankan dari beliau, dia suka 'nundutan" bahkan tertidur di ruang kelas bila sedang mengajar, maklum beliau adalah seorang tokoh politik dan masyarakat yang setiap malam berdiskusi memberikan pencerahan kepada masyarakat.
4. H. Dimyati
Pendiri dan pencetus gagasan didirikannya PGA Luragung. Beliau satu-satunya pendiri yang masih ada saat ini. Di usianya yang ke-83 tahun, H. Dimyati masih segar dan kritis dengan perubahan-perubahan yang terus bergerak. di usia kini, beliau masih tetap sederhana dan bertani menanam tanaman dan pohon apa saja yang bermanfaat sekalipun di lahan kering dan tandus karena kemarau. Ketika ditanya mengapa terus bertanam, lirih beliau menjawab dengan mengutip sabda Nabi Muhamad SAW yang mewasiatkan kepada umatnya untuk terus menanam pohon meski esok akan kiamat. Hari ini beliau hadir, menemui dan menyaksikan kader-kader mudanya berkumpul menemuinya di tempat di mana ide dan gagasannya diterjemahkan secara nyata. Beliau adalah sosok pejuang pendidikan khususnya pendidikan agama, dan pejuang pengkaderan, khususnya generasi muda Islam
Sebagai tokoh pergerakan, beliau pernah merasakan dinginnya sel penjara karena memperjuangkan keyakinan dan prinsip perjuangannya yang bersebrangan dengan penguasa melalui aparatnya saat itu. H. Dimyati selalu bergerak, menggagas, dan membentuk institusi-institusi pendidkan untuk mempersiapkan kader-kader muda penerus visi dan misi keislamannya. Fakta statistik, beliau mendirikan dan menggagas lembaga pendidikan PGA Luragung, MTs Galaherang, MI Galaherang , MI Sukasari, MI Ciledug di desa Mekarsari, dan membangun MI di Bunikerta desa Galaherang. Sebagai informasi, secara topografi, kampung Bunikerta berada jauh dari "puseur" desa Galaherang, karena berada di tengah hutan yang sukar di jangkau dengan kendaraan roda empat.Secara idiologis, beliau merupakan produk asimilasi dari terintegrasinya paham tradisional NU, Islam moderatnya Masyumi, dan sisi positifiiya sosialisme. Aliran-aliran pemikiran di atas, membentuk cara pandang keislamannya lebih ber-nash dan berkarakter progresif. Beliau bisa berkompromi dengan sosialisme untuk bisa mewarnai penganut sosialisme dengan wawasan keislaman yang humanis, kental dengan tradisionalisme NU karena ajaran Ahlusunnah wal Jamaah yang mengedepankan Islam yang lebih terbuka sekaligus menjadi ciri tata ibadah amaliah dan ubudiahnya sehari-hari, lalu dekat lekat dengan pemikiran progresif Masyumi yang menawarkan keislaman yang moderat dan modern.
Prinsip beliau selalu didasari oleh adagium "Islam selalu membutuhkan penggerak, dan penggerak membutuhkan pelita", pelita di sini adalah ilmu pengetahuan yang harus dimiliki oleh setiap penggerak (kader) Islam. Selain itu, beliau selalu menyampaikan pesan sufistik kepada anak-anak muda dalam berbagai kesempatan, "kun kal kawung walatakun kal maung", pesan ini terkesan satir dan jenaka karena berbaur antara bahasa arab dan sunda. Pesan yang ingin disampaikannya, bahwa hidup manusia harus bermanfaat bagi sesama dan jangan jadi mudharat bagi orang lain. Filosofi kawung —pohon aren-, semua yang dimiliki pohon ini berguna dan bermanfaat. Maung -harimau-, artinya manusia harus menjauhkan dan membebaskan dirinya dari sifat bahimiah harimau atau hewaniah harimau yang bisa merugikan sesama.
5. 0. Sodikin
Pendiri, guru, dan kepala sekolah pertama PGA Luragung. Pribadinya yang kharismatik, meninggalkan kesan mendalam di benak murid-muridnya. Sebagai seorang kepala sekolah, beliau dikenal memiliki karakter nasionalis religius. Dedikasinya untuk kepentingan sekolah ini sangatlah besar, sebelum menjadi kepala sekolah beliau adalah kepala sekolah SD Cangkurileung dicirahayu. Status kepala sekolah di SD tersebut beliau tinggalkan dan sepenuhnya mengabdi di PGA Luragung. Beliau adalah tokoh penggerak dan seorang idealis, beliau salah satu ruh utama PGA Luragung.
Karakter kepemimpinannya yang meledak-ledak namun kharismatis, mampu mengawal perjalanan PGA Luragung pada pencapaian-pencapaian yang menakjubkan di kemudian hari. Komitmen perjuangan beliau terhadap eksistensi sekolah ini, adalah komitmen dan keyakinan hati yang terus dijaga oleh Putra-putrinya yang juga merupakan alumni sekolah yang dirintis ayahandanya. Selanjutnya, setelah pensiun beliau menjadi kepala desa Walahar seperti halnya Pak Mugni yang menjadi kepala desa Wilanagara..
Kesan diatas hanyalah cuplikan dari narasi panjang kesan-kesan yang dimiliki setiap murid PGA Luragung terhadap guru-guru tercintanya. Tidak Seluruhnya bisa tertuliskan di buku ini, karena berbagai kerterbatasan sumber dan data yang ada.Hari ini, kita hanya bisa merasakan kehadiran guru-guru teladan tersebut dalam memori terdalam hati masing-masing. Sebagian sudah kembali menjumpai sang Pemilik Maha Kuasa, meninggalkan prasasti cinta yang akan dikenang sepanjang hayat. Semua yang ada disini, ruang kelas dan semua yang pernah bersamanya menjadi altar luas bagi persembahan cinta murid-muridnya yang bersama kembali menemui jejak-jejak manis yang ditinggalkan guru tercintanya. Kami memujamu, karena ilmu yang pernah engkau berikan Amin
sumber buku : Sejarah Singkat Berdirinya PGA Luragung oleh Dodo Murtadlo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.